Selasa, 29 Mei 2012

Ralf dahrendrorf


BAB I
PENDAHULUAN
Sir Ralf Dahrendorf lahir di Hamburg, Jerman pada tahun 1929. ia mempelajari filsafat dan sastra di Hamburg sebelum menjadi seorang sosiolog. Ralf Dahrendorf mempelajari sosiologi di London, Inggris. Pada tahun 1967 ia menjadi anggota parlemen dan seorang menteri di Inggris. Pada tahun 1970 ia menjadi komisaris masyarakat Eropa. Pada tahun 1974-1984 ia menjadi direktur London School of Economics. Sejak tahun 1987 di menjadi kepala di St. Anthony’s College, Oxford. Ralf dahrendorf banyak menghabiskan kiprah keilmuannya di Inggris.
Dari tahun 1974-1984 ia menjadi direktur London School of Ekonomics. Sekali pun dia lahir di buminya Max Weber taapi kiprah keilmuwanya lebih banyak di Inggris. Karya Dahrendorf yang cukup monumental adalah Class and Class Conflict in industrial Society (1959), Society and Democracy in Germany (1967), On britain (1982), dan The Modern Social Conflict (1989)[1]
Beliau di kenal sebagai sosiolog konflik. Banyak ilmuwan yang mempengaruhi pemikirannya, tapi jelas Karl Marx yang menjadi utama. Hampir semua gagasan Dahrenrorf merupakan kritik dari teori, hipotesis, dan konsep-konsep Marx.  Selain itu tokoh sosiologi yang mempengaruhi pemikirannya adalah Max Weber. Dari tokoh Jerman ini, Dahrendorf membincangkan kembali tentang kekuasaan, otoritas, dominasi, dan penundukan. Dia sangat banyak menjelaskan tentang otoritas pada konteks perserikatan yang terbentuk secara memaksa. Dalam masyarakat, terdapat norma-norma yang mengatur perilaku manusia dan aturan-aturan ini - dijamin intensif dengan ancaman atau sanksi[2]. Ia adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus).
Karena itu, teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori konflik dan teori konsensus. Teori konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat, teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tak kan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggalyang mencakup kedua proses itu. Dia menyatakan mustahil menyatukan teori yang menerangkan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat Barat. Untuk menghindarkan diri dari teori tunggal itu, Dahrendorf membangun teori konflik masyarakat.






BAB II
PEMBAHASAN
Teori Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan parsial serta perumusan kembali teori Marx. Dalam usaha melakukan penyangkalan parsial  teori Marx  itu Dahrendorf menunjuk beberapa perubahan yang terjadi dalam masyarakat industri sejak abad Sembilan belas. Diantara perubahan-perubahan itu adalah ;dekomposisi modal, dekomposisi tenaga kerja, timbulnya kelas menengah baru. Marx menulis tentang kapitalisme, pemilikan, dan control atas sarana-sarana produksi sebagian berada di tangan individu yang sama. Kaum borjuis adalah pemilik dan pengolah sistem kapitalis, sedang kaum ploretar atau buruh harus menjual tenaganya dan mengatungkan nasibnya pada sistem tersebut[3].
Menurut Dahrendorf yang tidak dilihat oleh Marx adalah pemisahan antara pemilik serta pengendalian sarana-sarana produksi yang terjadi abad dua puluh. Timbulnya korporasi-korporasi dengan saham-saham yang di miliki oleh orang banyak, dimana tak seorang pun di control secara eksklusif, berperan sebagai contoh dari apa yang di sebut Dahrendorf sebagai dekomposisi modal. Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahan yang bukan miliknya, seperti juga halnya seorang yang memiliki perusahan yang tidak dapat mengendalikannya. Karena sekarang zaman spesialisasi serta keahlia, manajeman dapat menyewa pegawai-pegawai seperti halnya para buruh. Para buruh maupun para pegawai kantor dapat memiliki saham perusahaan yang menjadikan mereka sebagai pemilik-pemilik bagian. Menurut Dahrendorf dekomposisi modal itu akan melahirkan kesulitan untuk mengidentifikasikan kaum borjuis yang memiliki monopoli eksklusif atas modal- dan pengendalian perusahaan. Sejalan dengan lahirnya abad keduapuluh, kepemilikan dasn pengendalian tersebut mengalami diversifikasi dan tidak lagi berada dalam tangan individu ataupun keluarga.
Menurut Dahrendorf yang terjadi tidak hanya dekomposisi modal tapi terjadi juga dekomposisi tenaga kerja. Kaum ploretar tidak hanya sebagai kelompok homogen tunggal. Pada akhir abad kesembilanbelas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, dimana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh yang biasa berada di bawah, kaum ploretar bukan lagi sebagaimassa yang tanpa perbedaan sebagaimana hal yang terjadi pada kaum borjuis. Tukang kayu, tukang pipa, serta pengemudi truk memiliki gaji yang lebih tinggi dari pada pelayan, operator, dan lain sebagainya
Dekomposisi modal dan buruh tersebut menjurus kepada pembengkakan jumlah kelas menengah yang sebelumnya tidak pernah di dugaoleh Marx. Hal ini memperkuat tidak akan terjadi ramalannya Marx yang akan terjadi revolusi kelas. Marx mengakui eksistensi kelas menengah di abad  kesembilan belas, tetapi ia merasa di saat revolusi tiba sebagian kelompok kecil ini akan bergabung dengan kaum ploretar untuk melawan kaum borjuis. Dia tidak meramalkan akan adanya serikat-serikat buruh yang di ikuti oleh mobilitas sosial dari para pekerja itu. Sebagaimana yang diamati Dahrendorf. Bilamana mobilitas dengan semangat revolusioner pecah, maka Rahrendorf meramalkan akan terjadi kehancuran struktur sosial karena gerakan revolusioner tadi.
Menurut Dahrendorf, alasan teoritis utama mengapa revolusi marxis tidak terjadi, kerena pertentang cendrung di atur melalui instusionalisasi. Pengaturan itu terbukti dengan timbulnya serikat-serikat buruh yang telah memperlancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antar -buruh dan manajemen. Dalam mengamati perubahan historis semenjak zaman Marx itu Dahrendorf merasa telah membuktikan kekeliruan analisis teori Marxis. Olehnya itu perlu rumusan baru dalam menjelaskan pertentangan kelas ala Marxis.
Dahrendorf menunjukkan beberapa perubahan yang terjadi dalam masyarakat industri, dia antaranya:
1.    Dekomposisi modal, timbulnya korporasi-korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, di mana tak ada kontrol yang ekslusif.
2.    Dekomposisi tenaga kerja, kaum proletar tidak lagi sebagai kelompok yang homogen, tetapi lahir susunan pekerja yang jelas di mana buruh terampil berada di jenjang atas, sedangkan buruh biasa berada di bawah
3.    Timbulnya kelas menengah baru, dekomposisi modal dan buruh menjurus kepada pembengkakan jumlah kelas menengah yang tidak pernah diduga.
Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang penting, dan bukan kepemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, mereka yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaannya, tetapi ini tidak berarti bahwa ada hubungan intrinsik atau yang mengharuskan antara kepemilikan dan kotrol. Karena kapitalisme berkembang dan perlahan-lahan berubah menjadi masyarakat post-kapitalist, pemilikan yang sah atas alat produksi dan kontrol yang efektif sudah dipisahkan. Model ini memperliahatkan bahwa pemilik saham yang luas yang tidak menduduki posisi otoritas dalam suatu peusahaan tidak memiliki kontrol yang efektif terhadap perusahaan itu. Kontrol yang dimiliki pemegang saham itu bersifat laten atau potensial, tidak aktif. Kontrol yang laten dapat diubah menjadi kontrol yang aktif hanya dengan mempengaruhi manejer yang berada pada posisi otoritas dalam -perusahaan itu. Pusat perhatian Dahrendorf adalah struktur otoritas dari perusahaan industri lebih daripada pola kepemilikan.
Pendekatan Dahrendorf berlandas pada asumsi bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif (imperatively coordinated) dengan hubungan otoritas. Hubungan otoritas dapat diamati tidak hanya dalam perusahaan produksi yang dikontrol oleh pemiliknya, tetapi juga dalam birokrasi pemerintahan, partai politik, gereja, semua jenis organisasi sukarela, serikat buruh, dan organisasi profesional. Hubungan antara pemilik alat produksi dan bukan pemilik yang bekerja untuk mereka merupakan suatu hal khusus atau subtipe dari hubungan-hubungan otoritatif.










BAB III
PENUTUP
Salah satu kesimpulan penting ketika kita membahas tentang Ralf Dahrendorf adalah kritikan terhadap teori fungsionalis. Kaum fungsional cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai, dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun yang terjadi dalam berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang ada di atas[4].
Dahrendorf mengemukakan bahwa perubahan struktural berbeda-beda menurut sifat radikal dan sifat tiba-tiba (sudden). Keradikalan menunjuk pada tingkat perubahan struktural, baik yang berhubungan dengan personel dalam posisi yang berkuasa, kebijaksanaan kelas yang berkuasa, maupun hubungan antarkelas secara keseluruhan. Ketiba-tibaan (suddenes) menunjuk pada kecepatan perubahan struktural. Dahrendorf menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara intensitas konflik kelas dan keradikalan perubahan struktural. Dia menghipotesiskan bahwa kekerasan konflik berhubungan dengan sifat tiba-tibanya perubahan struktural. Perubahan politik revolusioner menggambarkan tipe perubahan ini.
Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Mc Quarie, 1995: 66).
Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf , dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.





DAFTAR PUSTAKA
Polam, Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajagrafindo Persada
www.geogle.com
http://www.bookrags.com/biography/gerhard-emmanuel-lenski-jr-soc/





[1] Rachmad Dwi K. Susilo. 20 Tokoh Sosiologi modern. 2008
[2] ibid.
[3] Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer (terj). 2010
[4] Goerge Ritzer & Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern edisi ke-6 (terj), 2005








Tugas final
Teori Sosiologi Modern
RALF DAHRENDORF



Oleh:
Nama :Muhamad Noor Irsyad
Nim : E41109265

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
2012

Gerhand Emamnuel Lenski


Tugas final
Teori Sosiologi Modern
Gerhand Emmanuel Lenski


Oleh:
Nama : Muhamad Noor Irsyad
Nim : E41109265

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
2012






KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Teori Sosiologi Modern dengan tokoh Gerhand Emmanuel Lenski.
Salam dan shalawat tak lupa kita kirimkan atas junjungan kita Muhammad SAW, Nabi yang telah membawa kita dari alam yang gelap ke jalan yang terang benderang seperti pada saat ini.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tugas kami ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap tugas kami ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khususnya.

Makassar, 22 Mei 2012
Penyusun



Muhamad Noor Irsyad


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………. ….     i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….    ii
BAB 1             :           Pendahuluan…………………………………………………........   1
BAB 2             :           Pembahasan…………………………………………………........   2
1.1 Struktur dan Konflik Dalam Perpektif Evalusioner…………..   2
1.2 Struktur Dinamika Sistem Distribusi……………………….....   4
1.3 Struktur Sistem Pelapisan……………………………………..   4
1.4 Pembuktian Tesis Stratifikasi………………………………....    6
1.5 Kritik Terhadap Sintesa Evalusioner Lenski………………….    7
BAB 3             :           Penutup……………………………………………………….......    9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................   10










 
BAB I
PENDAHULUAN
Gerhand Emmanuel Lenski. Washington, 13 agustus 1924. Dia seorang ahli sosiologi Amerika. Dengan teorinya stratifikasi dan struktur masyarakat dalam perspektif evalusioner. Dia adalah guru besar universitas dari utara Carolina di Bukit Kapel.
            Dalam bukunya, Kekuatan dan hak istimewa (1966) dan Masyarakat manusia: suatu pengantar ke macrosocilogy (1974). Dia melihat kemajuan teknologi seperti faktor yang paling mendasar pada evolusi dari masyarakat dan budaya.
            Dia mencirikan empat langkah pembangunan manusia, berlandaskan pada riwayat dari komunikasi. pertama, keterangan dilalui gen. Dengan pembangunan dari pertanian, manusia mampu untuk keterangan kartu tanda lewat melalui pengalaman perorangan. Pada ketiga, manusia berawal mempergunakan tanda dan mengembangkan logika. Pada ke-empat, mereka menciptakan lambang, dan dikembangkan bahasa dan penulisan. teknologi dan komunikasi menerjemahkan ke dalam pendahulu pada satu ekonomi sistemnya masyarakat dan sistem politik, distribusi dari barang, ketidaksamaan sosial dan lapisan lain dari hidup kemasyarakatan. Dia juga membedakan masyarakat berlandaskan bertingkat mereka dari teknologi, komunikasi dan ekonomi:
1. pemburu dan gatherers
2. pertanian sederhana atau perkebunan (kekurangan bajak)
3. holtikultural
            4. industri
5. istimewa (misalnya. memancing masyarakat atau bahari

BAB II
PEMBAHASAN
1.1       Struktur dan Konflik Dalam Perpektif Evalusioner
            Gerhard E. Lenski mengembangkan suatau teori yang pada hakikatnya lebih merupakan sintesa daripada menyelaraskan secara sederhana teori konflik dengan analisa fungsional itu. Walau teorinya khusus berhubungan dengan pelapisan sosial, akan tetapi ia sebenarnya merupakan usaha untuk mengungkapkan sejarah umat manusia selama sepuluh abad ke dalam suatu model sosiologis. Menurut lenski hanya teori evalusioner yang menganalisa struktur maupun  proses tanpa dibatasi oleh rangkaian perjalanan waktu yang pendek.
            Teori stratifikasi lenski, dengan demikian, mencoba menyatukan usaha-usaha kaum fungsionalis dan menganut teori konflik untuk menjelaskan eksistensi dan operasi kelas-kelas sosial. Ahli teori konflik dan fungsional masing-masng mengembangkan teori pelapisan sosial mereka. Davis dan Moore menyatakan bahwa penjejengan pekerjaan adalah akibat perbedaan kepentingan fungsional dari kedudukan yang berbeda dalam arti ganjaran yang diberikan untuk memenuhi posisi itu harus cukup untuk membuat orang menerima pandangan bahwa “untuk menduduki pekerjaan yng penting itu sulit.dengan demikian perbedaan sosial adalah alat yang menjamin bahwa berbagai posisi yang paling penting hanya pantas diduduki oleh orang yang paling mampu.
Bagi Mars, dasar kelas sosial bukan konsensus tapi penghisapan suatu kelas oleh kelas lain. Sehubungan dengan masyarakat kapitalis, Marx berpendapat bahwa pemilik berbagai sarana produksi adalah wakil dari kelas atas yang melakukan tekanan serta dapat memaksakan kontrol terhadap kelas buruh yang lebih rendah. Menurut Marx,  yang mendorong perubahan adalah konflik dan hanya konflik yang dapat menggerakkan susunan sosial dari sistem kelas ke sistem tanpa kelas.
            Kedua pendekatan terhadap pelapisan itu yaitu teori fungsionalisme dan konflik bertumpuh pada dua tradisi yang didasari oleh perbedaaan asumsi tentang hakikat masyarakat. Fungsionalisme bertumpuh pada tradisi konservatif yang melihat stratifikasi penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Di pihak lain, teori konflik mempertanyakan eksistensi “kebutuhan-kebutuhan sosial’ ia lebih berkepentingan dengan berbagai kebutuhan, keinginan, dan kepentingan individu-individu serta sub kelompok (daripada dengan masyarakat yang lebih luas) dalam perjuangan mereka untuk memperoleh barang dan jasa yang bernilai dan langka. Perbedaan seperti itu mencerminkan kontradiksi asumsi hakikat  manusia. Lenski menyatakan bahwa kaum fungsionalis menekankan hakikat sosial manusia yaitu manusia tidak dapat survive tanpa hidup berkelompok. Akan tetapi, disaat yang sama, mereka mencurigai hakikat dasar manusia dan menekankan perlunya kendali terhadap lembaga-lembaga sosial (lenski 196:22). Dipihak lain, penganut teori konflik lebih optimis tentang sifat baik manusia dan lebih mencurigai lembaga-lembaga sosial yang merintangi hakikat ini. Bersumber pada pertentangan pandangan tentang manusia itu, para penganut teori fungsionalis dan konflik juga berbeda pendapat tentang masyarakat. Para penganut teori fungsionalis lebih cenderung melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang lengkap dan sempurna, sementara penganut teori konflik melihat masyarakat sebagai medan pertempuran dimasa terjadi berbagai pergulatan.



1.2       Struktur Dinamika Sistem Distribusi
            Dengan menggunakan asumsi hakikat manusia dari tradisi fungsionalis struktur yang lebih konservatif serta pendekatan konflik yang lebih radikal, lenski mengetengahkan dua hukum distribusi barang dan jasa. Kedua postulat tersebut, berasal dari asumsi-asumsi lenski, diringkas sebagai berikut : (1) manusia adalah makhluk sosial yang perlu hidup dalam masyarakat (2) biasanya manusia menempatkan kepentingan utama mereka atau kelompoknya di atas kepentingan orang atau kelompok lain (walaupun mereka mencoba menyembunyikan kenyataaan ini terhadap mereka sendiri dan terhadap orang lain) ; (3) manusia memiliki nafsu yang tidag terbatas terhadap barang dan jasa yang langka itu (Lenski 1966:  30-32). Jika postulat tentang manusia yang bersifat sosial akan tetapi mementingkan diri sendiri, itu benar, lenski kemudian menyatakan akan lahir dua propososi berikut : (1) orang akan memperoleh hasil tenaga kerja mereka sejauh dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan hidup dan produktivitas orang lain, yang tindakan-tindakan tanya perlu atau menguntungkan bagi mereka sendiri dan (2) kekuasaan akan menentukan distribusi hampir seluruh surplus yang dimiliki masyarakat.

1.3       Struktur Sistem Pelapisan
            Lenski membatasi kelas sebagai “pengelompokan orang didalam masyarakat yang berada dalam posisi yang sama dalam hal kekuatan atau beberapa bentuk spesifik dari kekuasaan, privilise dan prestise”. Fokus pembahasan lenski adalah kelas kekuasaan, yang dianggap menetukan distribusi privilise dan prestise dalam masyarakat dengan surplus barang-barang yang berarti. Bagi Lenski, kelas adalah kelas kekuasaan (power class). Walaupun kelas kekuasaan ini bervariasi, mulai daripemimpin industri sampai pada anggota yunta –militer dan buruh-buruh pabrik yang teroganisir.
            Setiap kelas mempunyai variasi dan peringkat pengaruh terhadap misalnya buruh-buruh pabrik, atau negro. Tetapi, dalam kaitan kekuasaan kedua kelompok itu dapat disebut sebagai kelas. Walaupun didalam maupun diantara kelas-kelas itu terdapat berbagai penjenjangan, akan tetapi para anggota kelas tetap merupakan kesatuan yang menduduki posisi sederajat dengan suatu kaitan kepentingan tertentu dan akan saling berhadapan sekiranya kepentingan tersebut tidak dimiliki kelas.
            Kelas sebagaimana diuraikan kemudian membentuk sistem kelas. Lenski membatasi sistem kelas sebagai hirarki kelas-kelas yang tersusun dalam jenjang beberapa kreteria tunggal. Jadi semua anggota masyarakat berada dalam jenjang dalam setiap sistem kelas yang tunggal. Misalnya dalam suatu masyarakat yang hipotesis, sistem kelas politis bisa terdiri dari 10 persen elit atau pemimpin, 20 persen birokrat, 50 persen politis, dan 20 persen adalah musuh rezim. Dalam masyarakat fiksi ini, sistem kelas kekayaaan dapat diberi jenjang 10 persen kaum kaya, 25 persen kaum menengah, 45persen kaum miskin, 20 persen kaum melarat. Sistem kelas berdasarkan pekerjaan dapat diberi jenjang dari tuang tanah, petani bebas, pegawai, pedagang, ke petani, pengrajin, dan pengangguran atau pengemis. Dengan demikian Lenski mencoba menunjukkan bahwa struktur sistem distribusi itu sedimikian rupa sehingga bisa saja persaingan atas sumber-sumber yang langka tak hanya berlangsung diantara individu-individu dan kelas-kelas diantara sistem kelas.
            Gambaran Lenski tentang sistem pelapisan yang secara struktural terdiri dari berbagai individu, kelas, dan sistem kelas itu sangat ruwet betapapun mencerminkan keragaman masyarakat industri . dia melihat pelapisan sebagai “sistem yang terdiri dari roda-roda yang saling bersinggungan” sebuah gambaran keterkaitan dan saling ketergantungan yang jelas-jelas berasal dari kaum fungsionalisme struktural.
            Berdasarkan pustulat-postulat yang dikategorikan pada struktur dan dinamika sistem-sistem distribusi, Lenski secara logis menyimpulkan beberapa proposisi yang dapat diuji. Diantara proposisi tersebut adalah :
1.      Tingkat perbedaan dalam sistem distribusi secara langsung akan berbeda dengan ukuran surplus atau masyarakat
2.      Kesempatan mobilitas vertikal, secara langsung akan cenderung berbeda dengan kecepatan perubahan sosial dan teknologi.
3.      Tingkat permusuhan kelas akan berbanding terbalik dengan tingkat mobilitas keatas.

1.4       Pembuktian Tesis Stratifikasi
            Masyarakat berburu dan meramu adalah masyarakat di mana teknik-teknik produksi bahan makanan masih primitif dan masih efisien dan dimana unsur-unsur masih primitif .
Dalam masyarakat berburu dan meramu, karena persendian barang ekonomi yang langka dan tidak memungkinkan berkembangnya stratifikasi sepangjang jalur ini. Melalui logika induktif menunjukkan bahwa dalam masyarakat berburu dan meramu, sebagian besar kekuasaan privilise dan prestile adalh fungsi dari kemampuan serta keahlian personal.
            Singkatnya, karena masyarakat berburu dan meramu hanya sedikit memiliki surplus barang-barang dan sumber-sumber, maka sistem pelapisan tidak tergantung pada surplus. Kelangsungan kelompok membutuhkan kerja sama dalam mengalokasikan barang yang tersedia, guna memenuhi kebutuhan hidup  minimal individu dalam masyrakat. Tetapi disini juga terdapat sistem pelapisan  yaitu sistem berdasarkan prestise dan kehormatan.
            Evaluasi langjut dari sistem distribusi adalah masyarakat Holtikultural sederhana. “masyarakat ini dibangun diatas dasar ekonomi perkebunan, alat utama adalah tongkat penggali. Masyarakat holtikura yang telah maju juga dibangun diatas perkebunan tetapi sudah memakai bajak dan penerapan teknologi maju lainnya seperti pemetaan, pengairan dan pemupukan.
            Ringkasnya, masyarakat holtikultura sederhana sangat mirip dengan masyarakat berburu dan meramu dalam soal kelangkaan surplus yang membuat perkembangan kelas sosial yang lebih jelas. Akibat meningkatnya teknik perkebunan, masyarakat holtikura yang maju mulai memiliki (sedikit)  surplus dan kemudian mengarah pada satu sistem yang terpisah. Disini kita melihat asal mula sistem kelas yang terutama dilandasi kelahiran daripada hanya atas dasar sumbangan yang dapat diberikan seseorang didalam kelompok.

 1.5      Kritik Terhadap Sintesa Evalusioner Lenski
            Teori evalusioner Lenski lebih condong ke arah perspektif konflik ketimbang gambarannya tentang orang. Dia enggn menerima sistem mapan yang abstrak dan tanpa gejolak. Sebagaimana diungkapkan Lenski “bila apa yang disebut sebagai sistem yang sempurna itu tidak ada maka jalinan teori-teori yang mendalikan eksistensinya harus dihentikan dan kita harus mencurahkan perhatian kepada pengembangan teori-teori yang eksplisit menganggap semua organisasi manusia sebagai sistem yang tidak sempurna “ . selanjutnya dia menyatakan bahwa konflik dan kerja sama adalah bagian dari sistem yang tidak sempurna ini – bahwa kedua proses tersebut adalah sifat umum dari perikehidupan manusia. Seperti terlihat pada teori pelapisan lenski itu sendiri, keunggulan teori konsensus atau konflik tergantung pada periode dan tipe aturan. Aturan-ataran kehendak penuh dengan ketegangan dan paksan, sedang aturan-aturan hak didasari oleh peraturan-peraturan normatif dan bersifat persejutuan. Tetapi baik kerja sama maupun konflik tetap ada dalam kedua tipe aturan ini.
            Pendekatan studi pelapisan Lenski memanfaatkan sejarah untuk menunjukkan pola-pola yang dapat ditemukan diantara fakta-fakta historis yang khusus. Dia menegaskan bahwa model evalusi oner sudah tepat dan harus dianalisa dalam masyarakat itu sendiri.
            Model evalusioner membuat para ilmuwan sosial mampu mampu menjajaki berbagai perkembangan dan perubahan dalam struktur sosial. Juga memungkinkan untuk mengetahui berbagai determinan struktur yang merupakan objek studi. Lenski mengidentifikasikan apa yang dianggapnya sebagai determinan utama struktur sosial dalam sejarah manusia :
1.      Warisan genetika manusia (yaitu, peralatan serta kecenderungan perilaku dengan mana setiap orang terlibat dalam proses-proses evaluasi organis)
2.      Teknologi yang secara perlahan-lahan dibentuk untuk mempertinggi warisan ini.
3.      Rintangan-rintangan lingkungan bagi kegiatan manusia serta perkembangan teknologi, khususnya yang menghambat arus informasi dari masyarakat lain.
4.      Persaingan keras diantara masyarakat dalam upaya mempertahankan basis sumber-sumber teritorial
Lenski menyatakan masyarakat kita dalam tingkat teknologi seperti sekarang inipun bahkan sudah dipengaruhi oleh determinan-determinan yang demikian. Walaupun dia melihat bahwa ideologi dan pengetahuan dapat memainkan peranan yang lebih penting dalam membentuk struktur sosial ketimbang dimasa lalu, tetapi dia sangat berhati-hati terhadap setiap usaha yang melebih-lebihkan kemungkinan yang demikian. Baginya perkembangan dan perubahan-perubahan dalam basis teknologi adalah penyebab utama perubahan sosial dalam struktur.  Hanya studi interdisipliner tentang totalitas struktur sosial manusia yang akan mampu menunjukkan interaksi faktor-faktor genetika, lingkungan dan teknologi dalam masyarakat.

BAB III
PENUTUP
            Teori pelapisan Lenski merupakan usaha untuk menyatukan teori konflik dan fungsionalisme kedalam satu kerangka teori dalam kerangka evalusioner. Berangkat dari teori konflik radikal Lenski memperoleh postulat hakikat masyarakat, penggunaan paksaan dalam sistem stratifikasi, dan tingkat dimana konflik sosial melahirkan perbedaan. Dari fungsionalisme konservatif Lenski mengambil pandangan mengenai hakikat manusia serta keharusan tentang adanya perbedaan. Lenski mencoba menyatukan aspek-aspek posisi konservatif dan radikal tentang bagaimana hak serta privilase diperoleh, serta peranan negara dalam sistem stratifikasi.
            Dalam masyarakat demikian konflik dan paksaan sangat minim. Bilamana masyarakat mulai berkembang ketingkat teknologi yang lebih tinggi dan struktur yang lebih konflik, maka surflus barang-barang ekonomi akan jatuh ketangan para pemenang persaingan. Didalam sistem pelapisan konflik dan paksaan, baik dalam maupun diantara masyarakat yang memainkan peranan penting. Tetapi perbedaan sosial dalam masyarakat-masyarakat dengan teknologi yang sudah berkembang menunjukkan tanda-tanda menurun sebagai akibat dari pertambahan surplus barang-barang yang tersedia. Walaupun Lenski tidak merasa bahwa hakikat manusia yang ada. Persamaan yang sempurna dapat dicapai, susunan/stratifikasi masyarakat industri yang sudah kompleks kurang kaku bilamana dibanding dengan masyarakat agraris.



DAFTAR PUSTAKA
Polam, Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajagrafindo Persada
www.geogle.com
http://www.bookrags.com/biography/gerhard-emmanuel-lenski-jr-soc/

peter l berger


PETER L BERGER

Peter Ludwig Berger (lahir 17 Maret 1929) adalah seorang kelahiran Austria Amerika sosiolog terkenal untuk karyanya, turut menulis dengan Thomas Luckmann , Konstruksi Sosial Realitas : Sebuah Risalah di Sosiologi Pengetahuan (New York, 1966).                                           
Berger dilahirkan di Wina , Austria dan kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II . Pada tahun 1949 ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts . Ia melanjutkan studinya di The New School di New York (MA pada tahun 1950, Ph.D. 1954).
Pada tahun 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll , Jerman . Dari 1956-1958 Berger menjadi asisten profesor di Universitas North Carolina ; 1958-1963 dia adalah seorang profesor di Theological Seminary Hartford . Stasiun berikutnya dalam karirnya adalah jabatan guru di Sekolah Baru untuk Penelitian Sosial, Universitas Rutgers , dan Boston College . Sejak 1981 Berger telah University Profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas Boston , dan sejak tahun 1985 juga direktur Lembaga Studi Kebudayaan Ekonomi , yang berubah, beberapa tahun yang lalu, ke dalam Institut Urusan Kebudayaan, Agama dan Dunia . [ 1]
Berger mungkin paling dikenal karena pandangannya bahwa realitas sosial adalah suatu bentuk kesadaran . Pusat untuk pekerjaan Berger adalah hubungan antara masyarakat dan individu . Dengan Thomas Luckmann dalam The Konstruksi Sosial Realita, Berger mengembangkan sebuah teori sosiologis: 'Masyarakat sebagai Realitas Objektif dan Realitas Subjektif sebagai'. Analisisnya tentang masyarakat sebagai realitas subjektif menggambarkan proses dimana konsepsi individu realitas diproduksi oleh nya atau interaksinya dengan struktur sosial. Dia menulis tentang bagaimana konsep-konsep manusia baru atau penemuan menjadi bagian dari realitas kita melalui proses objectivation . Seringkali kenyataan ini kemudian tidak lagi diakui sebagai ciptaan manusia, melalui proses yang Berger menyebut reifikasi . [2] Konsepsinya tentang struktur sosial seputar pentingnya bahasa , "sistem tanda yang paling penting dari masyarakat manusia," mirip dengan Hegel konsepsi 's Geist . [2]
Seperti kebanyakan sosiolog lain dari agama pada zamannya, ia keliru meramalkan mencakup segala sekularisasi dunia. Ini dia cukup bercanda mengakui pada beberapa kesempatan, menyimpulkan bahwa data sebenarnya membuktikan sebaliknya. Pada akhir 1980-an, Berger secara terbuka mengakui bahwa agama (baik lama dan baru) tidak hanya masih lazim, tetapi dalam banyak kasus lebih berseri dipraktekkan dibandingkan periode di masa lalu, khususnya di Amerika Serikat .
Dia, bagaimanapun, memenuhi syarat konsesi-konsesi. Sementara mengakui bahwa agama adalah masih merupakan kekuatan sosial yang kuat, ia menunjukkan fakta bahwa pluralisme dan globalisasi dunia berdasarkan bagaimana iman individu pengalaman, dengan karakter diambil-untuk-begitu saja agama sering digantikan oleh pencarian individu untuk pribadi agama preferensi. Demikian juga, dalam The Desecularization Dunia, ia mengutip kedua akademisi Barat dan Eropa Barat sendiri sebagai pengecualian terhadap hipotesis desecularization kemenangan: budaya ini tetap sangat sekuler meskipun kebangkitan agama di seluruh dunia.
Meskipun munculnya paradigma baru dalam sosiologi agama [3] , yang mengacu pada wawasan dari teori pilihan rasional dalam menjelaskan perilaku perusahaan keagamaan (gereja) dan konsumen (individu), pemikiran Berger telah mempengaruhi angka yang signifikan di lapangan dari sosiologi agama saat ini, termasuk rekannya di Boston University , Robert Hefner , dan mantan siswa Michael Plekhon , James Davison Hunter , dan Nancy Ammerman .


Kontruksi realitas secara sosial
            Pemikiran Peter L Berger tentang masyrakat dan individu dirumuskan bersama Thomas luckman, mengatakan realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi ilmupengetahuan yang harus menganalisa proses bagaimana itu terjadi. Mereka mengakuai realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap diluar kemauan kita sebab ia tak dapat di enyahkan. Dalam teori ini mereka menyatakan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrument dalam menciptakan “realitas yang obyektif” melalui proses ekstrenalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalu proses internalisasi ang mencerminkan “realitas yang subyektif” dengan demikian, masyrakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk masyarakat, yang keduanya berlangsung secara dialektis: tesis, anitesis dan sintesis. Kedialektisan itu sekaligus menandakan bahwa masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.
            Manusia sebagai individu sosial yang tidak pernah stagnan selama ia hidup di tengah masyarakatnya. Tesis utama Berger dan Luckmann adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Ia bukan realitas tunggal yang statis dan fina, melainkan merupakan realitas yang bersifat dinamis dan dialktis. Masyarakat adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Sebaliknya, manusia juga produk masyarakat. Seseorang atau individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau ia tetap tinggal dan menjadi entitas dari masyarakatnya. Proses dialektis itu, menurut Berger dan Luckmann mempunyai tiga momen yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
            Menurut Berger, proses eksternalisasi dariapa yang dimiliki ini berjalan secara alamiah bedasarkan aturan-aturan untuk menghindari terjadinya dominasi oleh satu individu terhadap individu lainnya. Oleh karena itu, maka aturan tersebut dapat dilakukan dengan cara menetap atau merumuskan sebuah consensus atau objektivikasi. Setelah terjadi objektivikasi, maka hasil objektivikasi tersebut di internalisasikan. Selanjutnya setelah ada pemahaman yang baru dari individu tersebut, pemahaman tersebut kemudian di ekternalisasikan kembali.
           
Berger berupaya untuk menyakinkan bahwa individu (masuk) dalam masyarakat sebab ada mekanisme lembaga sosial (Sistem norma), stratifikasi sosial, dan system pengendalian sosial. Baik individu maupun masyarakt sama-sama berperan dan ada dalam individu. Ada hubungan dialektis yang terjadi. Berger memahami masyarakat dalam 2 bagian besar yakni:
1.      Masyarakat sebagai realitas objektif yaitu masyarakt disini dilihat berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial, yang mengatur kehidupan masyarakat secara bersamaan.
2.      Masyarakat sebagai realitas subjektif  yaitu masyarakat disini dilihat dari bagaimana individu melakukan penafsiran terhadap realitas objektif yang berlaku umum dalam masyarakat.
Dalam bukunya invination to sociologi : ahumanistic prespective berger member kuliah pada siapapun yang tertarik pada sosiologi. Didalamnya Berger lebeih menegaskan tentang peran sosiologi ketimbang mengenalkan materi sosiologi baru, serta member penegasan terkait materi pengulangan gagasan-gagasan sosiologis sebelumnya, apa sesungguhnya peran sosiologi dalam kehidupan sosial, bagaimana peran ini benar-benar spesifik dalam artian bias dibedakan dengan ilmuwan-imuwan sosial lainnya.
      Di dalam bukunya berger menjelaskan tiga hal penting yaitu:
1.      Masyarakat dalam masyarakat (man in society)
2.      Masyarakat dalam manusia (society in man)
3.      Masyarakat sebagai drama (society in drama)
Berger juga tidak berkutat pada pernyataan tentang siapakah yang menentukan, individu atau masyarakat tetapi cenderung bersikap baik individu atau masyarakat sama-sama berperan dan ada dalam setiap individu. Berger berupaya menyakinkan bahwa individu terikat atau masuk dalam masyarakat karena didalamnya terdapat mekanisme lembaga sosial atau system norma. Stratifikasi sosial, dan system pengendalian sosial yang didalamnya berupa sanksi-sanksi. Yang kemudian membentuk perilaku-perilaku kita, disini kekuatan luar mampu memaksakkan sesuatu kepada individu jika individu memberontak maka yang terjadi kemudian adalah sitem pengendalian sosial menunjukkan eksistensinya berupa beragam sanksi.

Berger pernah mengatakan bahwa “masyarakat adalah dinding-dinding kepenjaraan kita dalam sejarah”. Berger juga menjelaskan 3 teori yang menyangkut kekuatan masyarakat dalam manusia yaitu :
1.      Teori peran
Dalam teori peran berger menjelaskan konsep penting yang disuguhkan adalah kreasi manusia yang disebutnya sebagai defenisi situasi. Yang dimaksud adalah seseorang akan memberikan peran tertentu mengikuti keadaan di mana ia harus menyesuaikan. Seseorang juga memiliki kemampuan untuk mengopor peran yang dimainkan oleh orang lain. Tetapi peran merupakan jawaban yang khas atas harapan yang khas, peran juga mampu memberikan pola yang memaksa individu melakukan tindakan-tindakan yang khusus.
2.      Teori sosiolgi pengetahuan
Dalam teori sosiologi pengetahuan dia menganggap semua yang dipikirkan oleh seseorang adalah bidang garap sosiologi. Singkatnya , semua pikiran manusia merupakan refleksi dari struktur  sosial.. ide berada dalam posisi sosial yang memiliki eksistensi. Meneliti masyarakat akan membimbing kita untuk lebih memfokuskan pada pandangan-pandangan masyarakat yang tidak sama antara satu dengan yang lain baik yang muncul dalam etika,filsafat ,maupun agama.
3.      Teori kelompok acuan
Teori kelompok menyatakan bahwa kelompok bisa memberikan model dimana kita terus menerus membandingkannya sekalipun kelompok tidak jarang menuntut untuk bersifat ideologis, tetapi selalu menguji kesetian kita. Seperti dalam kutipan Berger “Masyarakat tidak saja ada di luar sana tetapi juga didalam sini sebagai bagian dari kita yang paling dalam, masyarakat juga tidak hanya mengontrol gerakan kita tetapi membentuk identitas kita, pikiran kita  dan emosi kita. Struktur masyarakat menjadi stuktur kesadaran kita sendiri. Masyarakat tidak hanya ada di permukaan kulit kita, masyarakat menembusi kita sekuatnya masyarakat menutupi kita”. (BERGER,1985).


Tugas
Teori Sosiologi Modern
Peter L Berger




Oleh:
Nama : Muhamad Noor Irsyad
Nim : E41109265

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
2012