Selasa, 29 Mei 2012

Ralf dahrendrorf


BAB I
PENDAHULUAN
Sir Ralf Dahrendorf lahir di Hamburg, Jerman pada tahun 1929. ia mempelajari filsafat dan sastra di Hamburg sebelum menjadi seorang sosiolog. Ralf Dahrendorf mempelajari sosiologi di London, Inggris. Pada tahun 1967 ia menjadi anggota parlemen dan seorang menteri di Inggris. Pada tahun 1970 ia menjadi komisaris masyarakat Eropa. Pada tahun 1974-1984 ia menjadi direktur London School of Economics. Sejak tahun 1987 di menjadi kepala di St. Anthony’s College, Oxford. Ralf dahrendorf banyak menghabiskan kiprah keilmuannya di Inggris.
Dari tahun 1974-1984 ia menjadi direktur London School of Ekonomics. Sekali pun dia lahir di buminya Max Weber taapi kiprah keilmuwanya lebih banyak di Inggris. Karya Dahrendorf yang cukup monumental adalah Class and Class Conflict in industrial Society (1959), Society and Democracy in Germany (1967), On britain (1982), dan The Modern Social Conflict (1989)[1]
Beliau di kenal sebagai sosiolog konflik. Banyak ilmuwan yang mempengaruhi pemikirannya, tapi jelas Karl Marx yang menjadi utama. Hampir semua gagasan Dahrenrorf merupakan kritik dari teori, hipotesis, dan konsep-konsep Marx.  Selain itu tokoh sosiologi yang mempengaruhi pemikirannya adalah Max Weber. Dari tokoh Jerman ini, Dahrendorf membincangkan kembali tentang kekuasaan, otoritas, dominasi, dan penundukan. Dia sangat banyak menjelaskan tentang otoritas pada konteks perserikatan yang terbentuk secara memaksa. Dalam masyarakat, terdapat norma-norma yang mengatur perilaku manusia dan aturan-aturan ini - dijamin intensif dengan ancaman atau sanksi[2]. Ia adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus).
Karena itu, teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori konflik dan teori konsensus. Teori konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat, teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tak kan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggalyang mencakup kedua proses itu. Dia menyatakan mustahil menyatukan teori yang menerangkan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat Barat. Untuk menghindarkan diri dari teori tunggal itu, Dahrendorf membangun teori konflik masyarakat.






BAB II
PEMBAHASAN
Teori Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan parsial serta perumusan kembali teori Marx. Dalam usaha melakukan penyangkalan parsial  teori Marx  itu Dahrendorf menunjuk beberapa perubahan yang terjadi dalam masyarakat industri sejak abad Sembilan belas. Diantara perubahan-perubahan itu adalah ;dekomposisi modal, dekomposisi tenaga kerja, timbulnya kelas menengah baru. Marx menulis tentang kapitalisme, pemilikan, dan control atas sarana-sarana produksi sebagian berada di tangan individu yang sama. Kaum borjuis adalah pemilik dan pengolah sistem kapitalis, sedang kaum ploretar atau buruh harus menjual tenaganya dan mengatungkan nasibnya pada sistem tersebut[3].
Menurut Dahrendorf yang tidak dilihat oleh Marx adalah pemisahan antara pemilik serta pengendalian sarana-sarana produksi yang terjadi abad dua puluh. Timbulnya korporasi-korporasi dengan saham-saham yang di miliki oleh orang banyak, dimana tak seorang pun di control secara eksklusif, berperan sebagai contoh dari apa yang di sebut Dahrendorf sebagai dekomposisi modal. Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahan yang bukan miliknya, seperti juga halnya seorang yang memiliki perusahan yang tidak dapat mengendalikannya. Karena sekarang zaman spesialisasi serta keahlia, manajeman dapat menyewa pegawai-pegawai seperti halnya para buruh. Para buruh maupun para pegawai kantor dapat memiliki saham perusahaan yang menjadikan mereka sebagai pemilik-pemilik bagian. Menurut Dahrendorf dekomposisi modal itu akan melahirkan kesulitan untuk mengidentifikasikan kaum borjuis yang memiliki monopoli eksklusif atas modal- dan pengendalian perusahaan. Sejalan dengan lahirnya abad keduapuluh, kepemilikan dasn pengendalian tersebut mengalami diversifikasi dan tidak lagi berada dalam tangan individu ataupun keluarga.
Menurut Dahrendorf yang terjadi tidak hanya dekomposisi modal tapi terjadi juga dekomposisi tenaga kerja. Kaum ploretar tidak hanya sebagai kelompok homogen tunggal. Pada akhir abad kesembilanbelas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, dimana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh yang biasa berada di bawah, kaum ploretar bukan lagi sebagaimassa yang tanpa perbedaan sebagaimana hal yang terjadi pada kaum borjuis. Tukang kayu, tukang pipa, serta pengemudi truk memiliki gaji yang lebih tinggi dari pada pelayan, operator, dan lain sebagainya
Dekomposisi modal dan buruh tersebut menjurus kepada pembengkakan jumlah kelas menengah yang sebelumnya tidak pernah di dugaoleh Marx. Hal ini memperkuat tidak akan terjadi ramalannya Marx yang akan terjadi revolusi kelas. Marx mengakui eksistensi kelas menengah di abad  kesembilan belas, tetapi ia merasa di saat revolusi tiba sebagian kelompok kecil ini akan bergabung dengan kaum ploretar untuk melawan kaum borjuis. Dia tidak meramalkan akan adanya serikat-serikat buruh yang di ikuti oleh mobilitas sosial dari para pekerja itu. Sebagaimana yang diamati Dahrendorf. Bilamana mobilitas dengan semangat revolusioner pecah, maka Rahrendorf meramalkan akan terjadi kehancuran struktur sosial karena gerakan revolusioner tadi.
Menurut Dahrendorf, alasan teoritis utama mengapa revolusi marxis tidak terjadi, kerena pertentang cendrung di atur melalui instusionalisasi. Pengaturan itu terbukti dengan timbulnya serikat-serikat buruh yang telah memperlancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antar -buruh dan manajemen. Dalam mengamati perubahan historis semenjak zaman Marx itu Dahrendorf merasa telah membuktikan kekeliruan analisis teori Marxis. Olehnya itu perlu rumusan baru dalam menjelaskan pertentangan kelas ala Marxis.
Dahrendorf menunjukkan beberapa perubahan yang terjadi dalam masyarakat industri, dia antaranya:
1.    Dekomposisi modal, timbulnya korporasi-korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, di mana tak ada kontrol yang ekslusif.
2.    Dekomposisi tenaga kerja, kaum proletar tidak lagi sebagai kelompok yang homogen, tetapi lahir susunan pekerja yang jelas di mana buruh terampil berada di jenjang atas, sedangkan buruh biasa berada di bawah
3.    Timbulnya kelas menengah baru, dekomposisi modal dan buruh menjurus kepada pembengkakan jumlah kelas menengah yang tidak pernah diduga.
Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang penting, dan bukan kepemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, mereka yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaannya, tetapi ini tidak berarti bahwa ada hubungan intrinsik atau yang mengharuskan antara kepemilikan dan kotrol. Karena kapitalisme berkembang dan perlahan-lahan berubah menjadi masyarakat post-kapitalist, pemilikan yang sah atas alat produksi dan kontrol yang efektif sudah dipisahkan. Model ini memperliahatkan bahwa pemilik saham yang luas yang tidak menduduki posisi otoritas dalam suatu peusahaan tidak memiliki kontrol yang efektif terhadap perusahaan itu. Kontrol yang dimiliki pemegang saham itu bersifat laten atau potensial, tidak aktif. Kontrol yang laten dapat diubah menjadi kontrol yang aktif hanya dengan mempengaruhi manejer yang berada pada posisi otoritas dalam -perusahaan itu. Pusat perhatian Dahrendorf adalah struktur otoritas dari perusahaan industri lebih daripada pola kepemilikan.
Pendekatan Dahrendorf berlandas pada asumsi bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif (imperatively coordinated) dengan hubungan otoritas. Hubungan otoritas dapat diamati tidak hanya dalam perusahaan produksi yang dikontrol oleh pemiliknya, tetapi juga dalam birokrasi pemerintahan, partai politik, gereja, semua jenis organisasi sukarela, serikat buruh, dan organisasi profesional. Hubungan antara pemilik alat produksi dan bukan pemilik yang bekerja untuk mereka merupakan suatu hal khusus atau subtipe dari hubungan-hubungan otoritatif.










BAB III
PENUTUP
Salah satu kesimpulan penting ketika kita membahas tentang Ralf Dahrendorf adalah kritikan terhadap teori fungsionalis. Kaum fungsional cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai, dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun yang terjadi dalam berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang ada di atas[4].
Dahrendorf mengemukakan bahwa perubahan struktural berbeda-beda menurut sifat radikal dan sifat tiba-tiba (sudden). Keradikalan menunjuk pada tingkat perubahan struktural, baik yang berhubungan dengan personel dalam posisi yang berkuasa, kebijaksanaan kelas yang berkuasa, maupun hubungan antarkelas secara keseluruhan. Ketiba-tibaan (suddenes) menunjuk pada kecepatan perubahan struktural. Dahrendorf menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara intensitas konflik kelas dan keradikalan perubahan struktural. Dia menghipotesiskan bahwa kekerasan konflik berhubungan dengan sifat tiba-tibanya perubahan struktural. Perubahan politik revolusioner menggambarkan tipe perubahan ini.
Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Mc Quarie, 1995: 66).
Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf , dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.





DAFTAR PUSTAKA
Polam, Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajagrafindo Persada
www.geogle.com
http://www.bookrags.com/biography/gerhard-emmanuel-lenski-jr-soc/





[1] Rachmad Dwi K. Susilo. 20 Tokoh Sosiologi modern. 2008
[2] ibid.
[3] Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer (terj). 2010
[4] Goerge Ritzer & Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern edisi ke-6 (terj), 2005








Tugas final
Teori Sosiologi Modern
RALF DAHRENDORF



Oleh:
Nama :Muhamad Noor Irsyad
Nim : E41109265

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar